HOME

Batik originally is made from art images with many dotted, it is native of Indonesian heritage. Now, Batik is famous in the world, proof that Indonesia has a high cultural value, and has been recognized and appreciated by the world community. The rise of the culture habits to wear batik everyday both for office clothes, casual or formal events have an impact on increasing the Indonesian people's economy ....... batik maker/entrepreneur has awaken the entrepreneurship in rural areas and reduce unemployment and urbanization to the capital city (Jakarta).

Remembering my childhood with my family environment who were batik craftsman and batik businessman, raised my spirit to come back in the world that have been left for decades by my family ancestors.

Regards
Multa Henriyono

Selasa, 25 November 2008

Blus Batik

BATIK MAS SAGA


KLIK pada gambar untuk memperbesar.

Senin, 24 November 2008

Batik dan Gaya Hidup

Batik. Tren memakai batik belakangan ini cukup mencuri perhatian publik. Tidak biasanya, diluar hari Jumat batik digunakan sebagai pakaian kerja, terutama dilingkungan kantor pemerintahan. Namun saat ini semakin banyak saja orang mengenakan baju batik untuk keseharian. Gejala mulai mewabah di luar kota-kota seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta akan tetapi sudah merambah baik di pulau Jawa maupun diluar pulau Jawa. Hal ini berdampak pada industri Batik yang mulai bergeliat kembali, sebut saja di daerah Laweyan Solo yang tadinya seperti daerah mati (bekas pabrik batik) sekarang sudah mulai semarak dengan home industri-nya. Tak ektinggalan beberapa daerah di Jawa Timur seperti Malang, Madura, Sidoarjo, ataupun Banyuwangi dengan masing-masing ciri khas motif batik-nya.

Sayang sekali industri Batik tersebut saat ini juga kebanjiran dengan Batik dari "Cina". Ada yang legal maupun ilegal harga jauh lebih murah. Tapi jangan takut kualitas jauh sekali berbeda dengan batik lokal kita. Batik lokal memiliki ciri pewarnaan yang matang dan tidak mudah pudar.

Menggunakan kerangka pikir tokoh Mahzab Frankfurt seperti Theodore Adorno dan Walter Benjamin, memakai batik bisa dikatakan sebuah bentuk tanda resistensi atas ‘budaya unggul’ (high culture). Mengenakan baju batik merupakan suatu simbol perlawanan atas ‘pakaian resmi’ (jas, dasi ataupun gaun). ‘Pakaian resmi’ yang dimaksud adalah sebuah bentukan dari budaya Barat (Eropa) yang telah diperkenalkan sejak dari jaman kolonial, dan rupanya terlanjur membingkai cara berpakaian kebanyakan orang Indonesia. ‘Pakaian resmi’ itu dianggap tidak mewakili identitas diri sebagai wong (orang) Indonesia. Maka dari itu, dengan memakai batik ada kebanggan tersendiri yaitu memakai identitas sendiri yang bisa ditunjukkan. Memainkan kalimat terkenal Decartes, ‘Saya memakai batik, maka saya ada—sebagai orang Indonesia.’

Namun menggunakan batik dalam acara resmi tidak selamanya disadari sebagai perlawanan yang ideologis, akan tetapi hal ini juga menyangkut hal-hal praktis dalam berpakaian. Walaupun dalam segi perawatan khususnya Batik tulis memang lebih rumit dari pada pakaian biasa, namun bila dibandingkan dengan jas atau gaun memerlukan yang memerlukan ‘perlakuan khusus’ sebetulnya Batik jauh lebih mudah dalam hal perwatan.

Beragam warna batik sangat bervariatif, sementara jas lebih didominasi warna-warna gelap (hitam atau coklat) dengan sedikit ditemui warna cerah. Desain baju batik pun sangat beragam tergantung kreativitas si penjahit, dibandingkan desain jas yang cenderung monoton. Meskipun berbicara tentang hal-hal praktis namun jelas ini adalah bentuk simplifikasi dari sebuah sistem fashion yang prosedural dan kaku.

Dalam sejarahnya, sesuai analisis Adorno, budaya perlawanan hampir selalu tidak berdaya ketika bertemu suatu sistem yang bernama, kapitalisme. Meskipun terkadang budaya perlawanan ini ditujukan sebagai bentuk "resistensi" terhadap kapitalisme, namun tidak sedikit budaya ini menjadi sasaran empuk bagi kapitalisme. Sebagai contoh , ketika John Lennon ingin mengkritik negara dan perang dia menulis "Imagine", yang ternyata kemudian menjadi hits membuat industri rekaman dan bisa meraup keuntungan yang besar. Jeans yang adalah pakaian ‘kelas dua’ di Amerika Serikat, karena merupakan pakaian para penggembala ternak (cowboy) kini telah menjadi pakaian segala umat di seluruh dunia. Bagi kapitalisme, semua hal (bahkan yang resisten terhadapnya sekalipun) dicium sebagai potensi untuk menghasilkan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kecenderungan ini juga terjadi pada batik. Tren batik saat ini jelas adalah suatu bentuk kompromi antara industri tradisional (pengrajin batik) dengan industri besar (garmen). Artinya, batik tidak lagi dibuat untuk digunakan hanya pada acara-acara resmi saja. Desain pakaian berbahan dasar batik sangat bervariatif dan sudah mulai populer dalam aktivitas sehari-hari, sehingga tidak ada kesan "formal". Menggeliatnya kembali industri batik ini dinikmati baik oleh pengrajin kecil maupun industri skala besar. Yang kita khawatirkan justru industri besar ini akan mengekploitasi industri kecil. Dengan menekan harga akan mematikan industri kecil, sehingga industri kecil hanya digunakan sebagai pemasok industri besar dengan menekan harga serendah-rendahnya. Semoga hal ini tidak terjadi.

Peran Pemerintah juga sangat penting dalam menunjang indusri Batik ini. Seharusnya industri batik dalam negeri di lindungi dengan melarang atau minimal dapat membatasi Batik asal China.

"STOP BATIK CHINA"

Bangkit "Batik Indonesia" !